Senin, 23 Juli 2007

MLM dan Pengentasan Kemiskinan (2)

Model MLM sebenarnya bisa dijadikan model dan strategi mengentaskan kemiskinan. Karena di bisnis ini rakyat dimotivasi untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan mental dan juga kemiskinan dalam arti fisik (materi). Lewat MLM masyarakat yang ingin mengubah jalan hidupnya dimotivasi sebelum menjalani bisnis ini. Dimotivasi untuk melihat kondisi diri sendiri dan harapan serta nasib mereka di masa depan. Lebih awal pikiran mereka dibuka sedikit demi sedikit hingga kemudian hatinay terbuka pada bisnis MLM ini.

Banyak di antara pelaku bisnis MLM yang sukses awalnya buta terhadap usaha ini. Sebagian bahkan termasuk kelompok masyarakat yang awalnya secara ekonomi pas-pasan dan pesimis menghadapi kehidupan mereka. Ada yang awalnya tukang sol sepatu, tukang becak, pemulung sampah, buruh pabrik, dll. Tapi berkat dorongan dan suntikan motivasi yang diperoleh melalui training-training intensif, mentalitas mereka berubah. Hebat!

Berbeda dengan program-program kemiskinan yang ada selama ini, unsure membangun motivasi begitu minim. Masyarakat yang akan mendapat bantuan dana disurvei para fasilitator program untuk dievaluasi kelayakannya. Bila memang miskin, dana bakal dikucurkan secara bertahap. Motivasi yang diberikan dilakukan di awal sosialisasi dengan cukup “diiming-imingi” jumlah dana yang bakal mereka terima. Ironisnya, para fasilitator yang diharapkan menjadi agen perubahan masyarakat (dengan memotivasi kelompok masyarakat miskin) banyak yang mengalami penyusutan mental. Boro-boro mereka mengentaskan kemiskinan masyarakat, alih-alih mereka sendiri dimiskinkan oleh system proyek pengentasan kemiskinan. Mengapa demikian? Karena sebagian fasilitator itu selalu digaji terlambat. Karena keterlambatan gaji, mau tidak mau mereka harus menutup biaya operasional mereka ke lapangan…saya pernah mendapat keluhan dari seorang fasilitator P2KP yang bertugas di Karawang yang berujar, “motivasi saya surut untuk membantu program ini. Gaji selalu terlambat. Bagaimana kita termotivasi mengentaskan kemiskinan masyarakat, kalau motivasi kita susut karena ketidakpastian gaji yang dibayarkan pengelola program,” begitu keluhnya. Mendengar keluhan itu saya hanya berucap begini: “Bagaimana mau mengentaskan kemiskinan, kalau fasilitatornya dimiskinkan duluan sama pemerintah. Mengentaskan kemiskinan tapi melahirkan kemiskinan baru. Sudah lapor saja ke SBY. PNPM gak bakalan tuntas kalau kegiatan seperti itu lebih banyak dipandang sebagai proyek basah pihak-pihak terkait”. He..he..he…

Strategi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan memang tak bisa disalahkan. Soalnya system yang dibuat memang dibuat sedemikian birokratis dan itu memang hak pemerintah. Beda halnya dengan system MLM. Sederhana, transparan, mengedepankan sikap positif lewat pengembangan motivasi, memiliki program pelatihan yang edukatif, dan mengedepanan kemandirian. Birokrasi dipangkas sedemikian rupa sehingga penjelasan yang disampaikan kepada “konstituen” (distributor) mereka mudah dicerna.

Akselerasi kesejahtaraan yang diraih mereka yang dulunya dalam kondisi ekonomi minim juga bergerak cepat. Rata-rata kurun waktu untuk mendapatkan kesejahteraan materi memang lebih lama disbanding mendapatkan pengembangan mental spiritual. Artinya, yang dibangun lebih dulu adalah mentalitas dan kepercayaan diri. Baru setelah itu kesejahteraan mengikuti dengan sendirinya. Dua tiga tahun mentalitas mereka ditempat, tapi memasuki tahun ketiga secara bertahap pendapatan mereka berubah.

Ini menunjukkan fakta bila bisnis MLM mampu membangun karakter masyarakat yang lebih berkualitas. National character building (membangun karakter bangsa) bisa dijalankan bisnis MLM secara tidak langsung di tengah kondisi masyarakat kita yang saat ini dalam keadaaan pesimis dan kecenderungan yang destruktif.

Karena itu, saatnya kita membuka mata lebar-lebar. Tak cuma hanya berani nyinyir atau sinis terhadap mereka yang bergelut di bisnis MLM tapi semestinya bertanya pada diri sendiri: adakah perubahan dalam diri kita untuk menjadi pribadi yang positif dan memberikan kontribusi yang lebih baik pada masyarakat?

Tidak ada komentar: